MDI.NEWS | Jakarta – Kejaksaan Negeri Jakarta Utara yang bersebelahan dengan Terminal Tanjung Priok, tidak hanya diramaikan dengan banyaknya arus kendaraan yang keluar masuk terminal, tapi juga ada keramaian dari pengunjuk rasa yang menamakan dirinya ” Mahasiswa Peduli Hukum ” (MPH), Tuntutan mereka kepada pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara untuk mencopot Erma Oktora dari Jabatannya sebagai Kepala Seksi Pidana Hukum (Kaspidhum), pada Kamis (20/3).
Taufik, salah satu kordinator lapangan (korlap) aksi demo MPH, dalam orasinya mengatakan bahwa Erma terlibat dalam praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan dituduh telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai JPU dalam kasus PT Hutan Alam Lestari (PT.HAL).
Menurut Taufik, dalam kasus yang menimpa Jevon Varian Gideon yang kini jadi tersangka dan sedang ditahan dengan vonis pidana penjara selama 2,6 bulan terkesan direkayasa dan dipaksakan bahkan terlihat dikriminalisasi.
Kasus ini terus bergulir tampa diketahui sampai kapan akan ada kejelasan.Diketahui kasus dengan nomor 39/Pid.B/ 2025/PN.Jkt.Utr ini sempat menguras energi.apalagi sorotan publik mengarah kepada sistem hukum di Indonesia ini jelas ada rasa ketidakadilan dan ketidpercayaan.
Diketahui, Jevon Varian Gideon yang salah seorang staf legal di PT.Hutan Alam Lestari (PT.HAL) dituntut penjara selama 2,6 tahun, dugaan yang menimpa remaja berusia 29 tahun ini karena penipuan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Erma Oktora.
Tuntutan ini memancing mahasiswa bergerak turun ke jalan, dalam perspektif mereka tuntutan ini janggal karena Jevon dalam fakta persidangan adalah hanya seorang karyawan dari Direktur Utama PT. HAL yaitu mendaftarkan gugatan PT HAL di Pengadilan Negeri Jambi dan Sengeti.
Dalam perjanjian Jasa Hukum (PJH) antara PT HAL dan Firma Hukum Moses Tarigan & Partner, tidak ada keberadaan Jevon di sana. Tampak jelas Independensi Hakim dan Jaksa pantas dipertanyakan. Dalam pernyataan resmi MPH, mereka menyoroti pentingnya integritas dalam peradilan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, seorang hakim harus bertindak independen dan adil.
Jika fakta persidangan seorang hakim mengabaikan dan justru tunduk terhadap tekanan dari pihak tertentu, otomatis itu dianggap melanggar kode etik dan harus dikenai sanksi.
Mengacu kepada UU Nomor 16 Tahun 2004 terkait Kejaksaan RI, maka hal tersebut juga berlaku untuk jaksa. Jaksa wajib bertindak profesional dalam menangani perkara, bukan kepada kepentingan pribadi atau tekanan dari pihak luar, MPH menuding JPU Erma Oktora melakukan paksaan dalam menuntut Jevon tampa alat bukti dan mengabaikan persidangan.
Saksi Ahli: Kasus Ini Seharusnya Perdata Buka Pidana
Dalam persidangan, saksi ahli Dr. Leni Nadriani menegaskan bahwa perkara ini seharusnya masuk ranah perdata, bukan pidana. Masalah ini bermula dari wanprestasi dalam perjanjian hukum antara PT. HAL dan firma hukum Moses Tarigan & Partner.
Bahkan, ahli hukum Dr. Hendri Jayadi, S.H., M.H. menyatakan bahwa Pasal 378 KUHP yang digunakan dalam dakwaan tidak tepat, karena tidak ada unsur penipuan, melainkan hanya perselisihan kontrak.
Meski demikian, JPU tetap memaksakan tuntutan pidana dengan alasan yang dinilai tidak kuat dan mengabaikan fakta persidangan. MPH menilai tindakan ini mengancam integritas hukum di Indonesia dan berpotensi mencederai prinsip keadilan.
Mahasiswa Peduli Hukum (MPH) melalui kordinator aksi menyampaikan empat tuntutan :
1. Majelis Hakim harus objektif dalam mengambil putusan perkara No.39/Pid.B/2025/PN.Jkt.Utr, serta mempertimbangkan fakta persidangan berdasarkan pendapat saksi dan bukti otentik jangan berdasarkan pesanan siapapun.
2. Bersihkan mafia peradilan di Kejaksaan Negeri (KEJARI) Jakarta Utara yang diduga kuat JPU Erma terlibat dalam kasus kriminalisasi terhadap Jevon.
3. Usut tuntas dan periksa Erma Octora, Kasi Pidum Kejaksaan Negeri Jakarta Utara atas dugaan kriminalisasi terhadap Jevon.
Yang terakhir, “Periksa, copot Kasi Pidum dan JPU Erma Oktora, karena diduga tidak profesional dan tidak objektif dalam menangani perkara nomor 39/Pid.B/2025/PN.Jkt.Utr”, tegas Topik Kamis 20/03/2025 di depan Kejaksaan Negeri Jakarta Utara.
Mahasiswa berharap bahwa suara mereka dapat mendorong reformasi hukum dan memastikan keadilan ditegakkan tanpa intervensi pihak berkepentingan.
Mereka juga mengajak masyarakat untuk lebih kritis terhadap setiap kasus hukum yang berpotensi mengandung unsur kriminalisasi dan penyalahgunaan kewenangan.
Sementara itu Efie, Ibu dari Jevon turut menyampaikan kesedihannya terkait nasib putera Sulungnya yang dikriminalisasi oknum JPU.
“Saya minta kepada Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Mahkamah Agung, Ketua Komisi III DPR – RI agar mengawasi perkara no.39/Pid.B/2025/PN.Jkt.Utr dimana dalam perkara ini anak saya dikriminalisasi oleh Oknum JPU dan Penyidik, anak saya hanya seorang karyawan yang ditugaskan mendaftarkan gugatan di PT. HAL dan membayarkan jasa hukum dan semua yang ditugaskan sudah dilaksanakan dalam fakta persidangan semua terungkap bahwa: tidak ada uang PT.HAL yang digelapkan anak saya”, terangnya.
“Anak saya bukan pihak yang ada dalam perjanjian jasa hukum antara Moses Tarigan dan Partner dengan PT. HAL, tapi mengapa Jevon diseret – seret seolah bagian dalam perjanjian tersebut sehingga diadili dan dituntut 2,6 tahun penjara oleh JPU Erma Octora, dimana hati nuranimu sebagai seorang Ibu”, teriaknya sambil menangis iba.
“Saya mohon kepada Pak Presiden bebaskan Jevon, lepaskan Jevon dari para mafia hukum dan mafia peradilan”, harapnya.
Dalam pernyataannya Efie mengatakan bahwa anaknya bukan seseorang yang berada dalam perjanjian jasa hukum antara PT. HAL dan dan Moses Tarigan dan Partner, namun yang terjadi anaknya malah terseret seakan-akan menjadi bagian dari perjanjian tersebut sehingga Jevon jadi diadili dan dituntut 2,6 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Erma Oktora.
” Dimana hati nuranimu sebagai seorang ibu. Saya mohon kepada Presiden Prabowo, bebaskan Jevon, lepaskan Jevon dari para mafia hukum dan mafia peradilan, ” harapnya memelas.
Wartawan : Dudung