Foto: Puluhan Massa FIM yang ingin mendemo Al Zaytun
MDI NEWS | Jakarta, – FIM menuntut agar MUI dan Kementerian Agama RI memeriksa ajaran sesat Al-Zaytun.
Sejak berdirinya sebagai lembaga Pendidikan Formal yang di resmikan oleh Presiden Habibie, Alzaytun Indonesia sama sekali tidak mengajarkan ajaran kepada santrinya ajaran ajaran lain, kecuali ajaran yang berdasarkan kepada Tuntunan Allah dan Rasulnya Mohammad SAW yang tertuang dalam Alquran dan Sunnah Rasul, bukan saja terkait dengan upacara ritual tetapi juga dengan aktifitas hidup dan kehidupan, yang kesemuanya telah dan akan di lakukan sepanjang Alzaytun Indonesia masih berdiri dan akan tetap berdiri kokoh.
Sebagai Lembaga Pendidikan berbasis Pesantren, tentu yang diajarkan adalah semua yang terkait dengan Kurikulum Kementerian Agama, sejak peringkat Dasar, Sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sampai Perguran Tinggi.
Jika kemudian ada rumor, hoaks dan fitnah yang mengexpos adanya ajaran sesat di Alzaytun Indonesia, maka semua itu adalah akibat dari “kedengkian”, yang sudah muncul sejak awal berdirinya Alzaytun sebagai Lembaga Pendidikan formal di tahun 1999.
Alzaytun Indonesia sejak berdirinya telah membawa banyak pendobrakan terhadap image Pesantren yang selalu dianggap sebagai Lembaga Pendidikan marginal, sehingga dengan berdirinya Alzaytun Indonesia dengan performance yang besar dan tertata dengan tartil, kemudian banyak pihak yang menghubungkaitkan rasa dengkinya terhadap Alzaytun, dengan pertanyaan tentang dana dan sumber dana, dan karena sebab yang samalah hingar bingar terjadi saat ini. Dan ini menjadi siklus 12 tahunan Alzaytun Indonesia, setelah hingar bingar tahun 2011/2012 yang lalu.
Hingar bingar tahun 2023 diawali karena adanya sholat Eidul Fitri 1444 H yang diselenggarakan di Masjid Rahmatan Lil Alamin, dimana Syaykh Alzaytun bertindak selaku Imam dan Khatib. Sholat Eidul Fitri yang di ikuti oleh ribuan Civitas Academica Alzaytun Indonesia, dan disiarkan secara langsung melalui Youtube streaming, menjadi pemicu hingar bingar yang menyedihkan, yang kemudian dijadikan alat untuk menyudutkan Syaykh Alzaytun dan Alzaytun itu sendiri sebagai Pesantren.
Sesuatu yang telah terjadi 12 tahun yang lalu, dimana masyarakat belum mempunyai akses terbuka terhadap media sosial, sehingga hingar bingar Alzaytun Indonesia saat itu hanya di ikuti secara sefihak melalui siaran Televisi, dan seperti juga tahun 2023 ini, TV yang secara ambisius menyiarkan kabar tentang Alzaytun dengan tendensius adalah TVONE.
Dengan massivenya akses masyarakat kepada Internet dan kepemilikannya akan account sosial media, maka semua hal yang terkait dengan Alzaytun Indonesia mengarah pada apa yang terjadi berpuluh tahun yang lalu, yang berkutat pada ajaran sesat walau faktanya Alzaytun hanya mengajarkan apa yang ada dalam tuntunan.
Dalam siaran Presnya Kakanwil Kemenag Jawa Barat menyampaikan bahwa tidak penyimpangan pembelajaran di Alaytun, sementara tahun 2002 yang lalu Kementeria Agama RI dalam hal ini Balitbang sudah menyatakan tidak ada ajaran sesat di Alzaytun, tentu berdasar pada hasil resmi penelitian Kemenag tersebutlah maka Menteri Agama Surya Dharma Ali juga telah menyatakan tidak ada ajaran sesat di Alzaytun dan dinyatakannya bukan sarana Pendidikan radikal.
Dengan adanya hingar bingar tentang Alzaytun Indonesia, maka terlihat adanya fenomena kebebasan beragama semakin memburuk jika dibandingkan dengan era sebelum reformasi {Tentu di Jaman Orde Baru}. Pengusiran, kekerasan, ancaman, dan pemaksaan baik fisik maupun psikologis terhadap penganut agama atau aliran aliran keagamaan tertentu semakin sering tejadi.
Pelanggaran-pelanggaran kebebasan beragama tersebut sepertinya tidak pernah berkurang dan bahkan di era Information and Communication Technology ini semakin marak, dengan bumbu bumbu Hoaks, ujaran kebencian, fitnah, kedengkian, yang oleh Masyarakat International berdasar pada Resolusi PBB semua itu harus dihentikan.
Bahkan Perserikatan Bangsa Bangsa meminta Pemerintah Negara Negara anggota PBB untuk turun tangan melakukan pencegahan, tanpa harus mengeliminir kebebasan berbicara warga negaranya.
Padahal komitmen pemerintah Indonesia terhadap penjaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan tampak semakin mengalami kemajuan secara signifikan setelah era reformasi terutama setelah dilakukannya amandemen kedua UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah memasukan satu Bab yakni BAB X A secara khusus memberi landasan penjaminan HAM bagi setiap warga negara,
Bab ini mencakup sepuluh pasal tentang HAM yang hampir seluruhnya mengadopsi prinsip-prinsip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Part 1:
1. All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development. (Semua orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri.
Berdasarkan hak itu mereka dengan bebas menentukan status politik mereka dan dengan bebas mengejar perkembangan ekonomi, sosial dan budaya mereka.)
2. All peoples may, for their own ends, freely dispose of their natural wealth and resources without prejudice to any obligations arising out of international economic co-operation, based upon the principle of mutual benefit, and international law. In no case may a people be deprived of its own means of subsistence. (Semua Orang dapat, untuk tujuan mereka sendiri, dengan bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban apapun yang timbul dari kerjasama ekonomi internasional, berdasarkan prinsip saling menguntungkan, dan hukum internasional. Dalam keadaan apa pun, suatu bangsa tidak boleh dirampas sarana penghidupannya sendiri)
Salah satu hak asasi yang diatur dalam BAB X A menyangkut hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga negara, seperti yang diatur dalam Pasal 28 E UUD 1945.
Pasal ini menegaskan tentang cakupan hak beragama dan berkeyakinan, yakni hak untuk memeluk agama, hak untuk menganut satu keyakinan dan hak untuk beribadah menurut agama dan keyakinan tersebut.
Hal ini berarti bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam ketiga aspek tersebut.
Jaminan konstitusi mengenai hak-hak ini diperkuat pula oleh beberapa instrumen perundang-undangan di bawah UUD 1945. Undang-undang dimaksud antara lain: – Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terutama Pasal 4 :
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” – Pasal 28 E, UUD 1945
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun “- Pasal 4 UU N0.39 tahun 1999. (akan dilanjutkan). Sumber: Datuk Agung Sidayu