width=
width=

Dari Toleransi Menuju Perdamaian dan Kesetaraan: Inspirasi dari Al-Zaytun untuk Dunia

Oleh : Ali Aminulloh

Mdinews, Indramayu – Di tengah riuhnya dunia yang kerap terpecah belah oleh jurang perbedaan, Mahad Al-Zaytun muncul sebagai oase yang menawarkan perspektif baru: dari toleransi, tumbuhlah perdamaian yang hakiki, yang berlandaskan kesetaraan antar sesama umat manusia. Inilah inti dari apa yang coba dibangun di Al-Zaytun, sebuah visi yang melahirkan persaudaraan kemanusiaan, atau ukhuwah insaniyah, yang melampaui sekat-sekat primodial.

Konsep ini bukanlah sekadar impian utopis, melainkan sebuah manifestasi konkret dari “Rahmatan Lil Alamin” – rahmat bagi seluruh alam semesta.

Al-Zaytun tidak hanya mewacanakan, tapi juga mengukir makna Rahmatan Lil Alamin dalam bentuk fisik dan laku nyata. Sebuah masjid megah berdiri tegak di jantung Al-Zaytun, dinamai Masjid Rahmatan Lil Alamin, seolah menjadi pelukan hangat bagi siapa saja yang datang.

Dan sebagai mercusuarnya, menjulanglah Menara Pemuda dan Perdamaian setinggi 201 meter, yang tidak hanya menembus cakrawala, tetapi juga menembus batas-batas prasangka.

Simbol dan Realitas: Menenun Harmoni dari Setiap Penjuru

Al-Zaytun telah dengan cermat membangun jembatan kokoh antara simbol dan realitas. Tidak cukup hanya bermimpi tentang perdamaian, Al-Zaytun mewujudkannya dalam setiap detail kehidupan kampus.

Masjid Rahmatan Lil Alamin bukan hanya bangunan fisik, melainkan ruang inklusif di mana tokoh lintas agama berdialog, puluhan ribu umat manusia berkumpul tanpa sekat, dan kesetaraan sebagai makhluk Tuhan ditegaskan. Ini adalah esensi dari ukhuwah insaniyah yang membumi, seperti yang diungkapkan oleh Nurcholish Madjid tentang pentingnya pluralisme dan inklusivitas dalam beragama untuk menciptakan masyarakat yang adil dan beradab [Madjid, 1992].

Menara Pemuda dan Perdamaian, dengan ketinggian 201 meternya, bukan sekadar menara pandang. Ia adalah penanda cita-cita. “Pemuda” merepresentasikan harapan dan energi masa depan, sementara “Perdamaian” adalah tujuan akhir yang diimpikan. Keberadaannya melengkapi simbolisme yang telah tersebar di seluruh penjuru Mahad Al-Zaytun—dari prasasti, billboard, hingga lirik-lirik lagu yang setiap hari menggaung.

Namun, yang paling mendalam adalah penanaman nilai-nilai ini melalui simbol visual dan auditif yang masif. Simbol 8 juru mata angin tak hanya menghiasi setiap bangunan, namun juga menjadi pengingat konstan akan inklusivitas dan keterbukaan terhadap segala arah dan pandangan hidup.

Simbol ini menegaskan bahwa Al-Zaytun menerima dan merangkul siapa pun, dari mana pun mereka berasal, dengan keyakinan apa pun. Ini adalah representasi fisik dari jiwa toleransi yang tak berbatas.
Lagu-lagu yang liriknya diciptakan sendiri oleh Syaykh Al-Zaytun menjadi melodi harian yang tak pernah lekang, menanamkan nilai-nilai inti hingga meresap ke dalam sanubari. Dengarkan bagaimana lirik-lirik ini berbisik dalam jiwa:

Dalam Mars Al-Zaytun bait ketiga: “Tempat menempa manusia beriman- hidup bertoleransi dan perdamaian.”

Mars IAI Al-Zaytun pada bait pertama: “Pusat pendidikan nilai universal- dalam zona damai dan harmoni.”

Mars Pandu Pembela Umat dan Kemanusiaan (PPUK) pada bait ketiga: “Kami pandu pembela kemanusiaan- berjiwa toleran dan cinta damai.”

Mars Masyarakat Indonesia Membangun (MIM) di akhir liriknya: “Menjunjung hak asasi manusia- penyebar toleransi dan damai.”

Sementara Hymne MIM di bait terakhirnya: “Menjunjung hak asasi manusia- Penuh toleran damai sesama.”

Dan puncaknya, Keroncong Perdamaian pada bait terakhirnya menutup dengan haru: “Diteruskan hamba perdamaian- Al Zaytunlah wujudnya.”

Lagu-lagu ini bukan sekadar melodi. Mereka dinyanyikan setiap pagi, baik di sekolah maupun di asrama, serta dalam berbagai perayaan di Al-Zaytun. Repetisi ini, sebagaimana dijelaskan oleh Ivan Pavlov dalam teorinya tentang pengkondisian klasik (classical conditioning), dapat menanamkan asosiasi kuat antara lirik-lirik tersebut dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya ke dalam alam bawah sadar individu [Pavlov, 1927].

Dengan demikian, jiwa toleransi dan damai bukan hanya menjadi mindset dan sikap, melainkan meresap menjadi darah daging setiap anggota keluarga besar Al-Zaytun. Ini adalah bentuk pendidikan karakter yang holistik, di mana nilai-nilai diinternalisasikan melalui pengalaman berulang dan lingkungan yang kondusif.

Ini adalah perwujudan dari teori konstruksi sosial realitas oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, yang menyatakan bahwa realitas sosial tidak hanya objektif, tetapi juga dibangun melalui interaksi manusia, termasuk melalui simbol-simbol dan bahasa [Berger & Luckmann, 1966].

Dengan konsisten menghadirkan simbol-simbol toleransi, perdamaian, dan kesetaraan—dari delapan penjuru mata angin hingga lirik lagu yang merdu—Al-Zaytun secara aktif mengkonstruksi realitas sosial di lingkungannya, membentuk kesadaran kolektif yang berakar pada nilai-nilai tersebut.

Membangun Kesadaran Global

Apa yang dilakukan Al-Zaytun adalah sebuah undangan universal. Undangan untuk melihat bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk bertikai, melainkan kekayaan yang harus dirayakan. Ketika setiap individu diajarkan untuk menghargai pendirian yang berbeda, mengakui kesetaraan setiap manusia di hadapan Tuhan, dan mempraktikkan persaudaraan tanpa batas, maka perdamaian sejati akan menemukan jalannya.
Al-Zaytun telah memulai langkah besar ini. Dari sebuah institusi pendidikan di Indramayu, ia mengirimkan pesan yang relevan untuk dunia: bahwa kunci menuju harmoni global ada pada kemampuan kita untuk bertransformasi dari sekadar bertoleransi, menjadi sebuah komunitas yang merayakan kesetaraan dan merajut perdamaian dalam ikatan ukhuwah insaniyah. Ini adalah inspirasi yang patut direnungkan dan diadaptasi, untuk setiap sudut bumi yang mendamba ketenangan dan persatuan.***

banner 1600x1200