width=
width=

Kembalikan Pancasila Sebagai Falsafah Kehidupan Bangsa

MDI.NEWS | Sejarah – Pancasila sudah mulai di kenal sejak abad ke-14, tepatnya di era Kerajaan Majapahit. Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta terdiri dari dua suku kata yaitu “Panca” dan “Sila”. Panca artinya lima dan Sila artinya dasar atau asas.

Pancasila lahir dari proses perjalanan sejarah yang panjang, dimulai dari sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 28 Mei 1945. Berlanjut pada pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 tentang Pancasila sampai dengan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Hingga pada akhirnya sehari setelah kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila disyahkan sebagai dasar negara.

Para akademisi dan kaum intelektual Indonesia sering menyebutnya dengan istilah “Nilai-nilai Dasar Negara” atau “Lima Dasar Negara”. Adapun susunan lima dasar negara itu menurut Preambule UUD 1945 adalah sebagai berikut :

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab

3. Persatuan Indonesia

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

5. Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perhatikan kalimat pada sila yang ke- 5. Saya tidak bermaksud untuk merubah atau menambahkan tapi begitulah rumusan teks lima dasar negara Pancasila yang syah menurut Preambule UUD 1945 pada alenia ke- 4. Dalam pandangan saya ajaran Pancasila itu bersifat universal baik dalam skala nasional maupun internasional.

Istilah Pancasila mulai dipopulerkan oleh Ir. Soekarno pada pidato 1 Juni 1945 tentang Pancasila dan rumusannya yang kemudian oleh pemerintah tanggal 1 Juni dijadikan sebagai hari libur nasional untuk memperingati Hari Lahir Pancasila.

Pada era kepemimpinan Jendral Besar Haji Muhammad Suharto (Presiden ke- 2 RI 1967 – 1998) Pancasila diurai menjadi Butir-butir Pancasila yang kemudian dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah mulai dari SD sampai ke tingkat Perguruan Tinggi di seluruh penjuru tanah air yang disosialisasikan melalui Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Harapan pemerintah (Orde Baru) kala itu masyarakat Indonesia menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya atau asas tunggal falsafah dan pandangan hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga ajaran Pancasila terinternalisasikan ke dalam hati sanubari seluruh rakyat Indonesia.

Dengan demikian maka akan tercipta tatanan masyarakat yang hidup dalam damai (the zona of democracy) penuh dengan toleransi dan saling menghargai perbedaan suku, ras, agama dan budaya dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia.

Peringatan Hari Kemerdekaan RI yang ke-50 tahun Indonesia Emas 1995 adalah puncak kejayaan kepemimpinan Pak Harto. Dijuluki oleh dunia internasional sebagai “The Tiger of Asia”.

Sayangnya setelah 32 tahun Pak Harto memimpin (masa Orde Baru) dipaksa berhenti ditengah jalan diterjang badai gelombang reformasi (1998) demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa yang di pimpin Prof. H. Amien Rais, MA.

Pak Harto akhirnya mengundurkan diri dari kursi Kepresidenan, dampaknya pun sampai detik ini masih terasa, Pancasila seolah-olah dilupakan, bahkan dianggap tidak mampu menyesuaikan dengan alam demokrasi saat ini. Apa saja dampak akibat dari reformasi, berikut hasil analisa penulis:

1. Sistem demokrasi Indonesia mulai melenceng dari nilai-nilai dasar negara.

2. Opini public tidak terkendali atas dasar kebebasan berpendapat.

3. Tidak ada lagi tahapan Repelita (Rencana Pembangunan Lima tahun) dan seterusnya. Akibatnya pembangunan berjalan apa adanya.

4. Tidak ada lagi lembaga tinggi maupun tertinggi negara. Akibatnya kinerja Presiden tanpa pengawasan/tidak ada pertanggungjawaban.

5. Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara langsung membutuhkan anggaran yang besar.
6. Amandemen atau perubahan batang tubuh UUD 1945 secara bertahap.

Reformasi mahasiswa yang awalnya diharapkan mampu menjadi agen perubahan (agent of change) kepada arah demokrasi yang lebih baik, faktanya dinilai oleh para pengamat politik justru malah “kebablasan”.

Mari kita bernegara dengan cara yang terhormat. Bernegara bermakna melaksanakan konstitusi secara murni dan konsekuen. Konstitusi jangkauannya lebih luas dari preambule dan batang tubuh UUD 1945.

Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan yang membentuk dan mengatur pemerintahan dalam suatu negara. Atas dasar itulah maka seluruh komponen bangsa harus patuh dan taat pada konstitusi.

Sebagai warga negara yang taat hukum, alangkah indahnya kita berkomitmen untuk menginternalisasi ajaran Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara untuk tujuan yang mulia yaitu Mewujudkan suatu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia,
sebagaimana yang tertulis dalam sila ke-5 Pancasila.

Frase itu bermakna kalimat aktif, bergerak terus-menerus untuk mewujudkannya (sustainable). Tapi entah kenapa sila ke-5 saat ini tidak sesuai dengan Preambule UUD 1945, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Itu adalah kalimat yang pasif, kalimat yang tidak mengandung unsur gerakan apapun. Dengan kata lain hanya kalimat berita.
(Dari berbagai sumber)

Imam Setiadi – Asistensi Media Nasional

Editor: Dudung
banner 1600x1200