width=
width=

Panen Harapan: Ketika Generasi Z Al-Zaytun Mengubah Wajah Pertanian Indonesia

Oleh Ali Aminulloh

Inpopedia, Indramayu – Indonesia, sebuah permata khatulistiwa yang dianugerahi kekayaan tanah subur, sejak lama dikenal sebagai negara agraris. Hamparan lahan pertanian yang luas membentang dari Sabang sampai Merauke, menjanjikan kemandirian pangan bagi jutaan penduduknya. Namun, di balik citra itu, tersimpan sebuah ironi yang mengiris hati: kebutuhan beras nasional yang begitu besar, justru masih harus dipenuhi dari impor.

Data menunjukkan, setiap tahunnya Indonesia masih mengimpor jutaan ton beras. Pada tahun 2022 saja, tercatat sekitar 429 ribu ton beras masuk ke tanah air, sebagian besar berasal dari India, Pakistan, Vietnam, dan Thailand. Bahkan, pada Januari-November 2024, volume impor beras melonjak drastis hingga 3,85 juta ton, dengan Thailand sebagai pemasok terbesar. Fenomena ini bukan hanya sekadar angka, melainkan cerminan dari tantangan serius yang membayangi sektor pertanian kita.

Ironi ini semakin diperparah dengan realitas di lapangan. Banyak petani, sang pahlawan pangan, terpaksa beralih profesi karena berbagai tekanan ekonomi dan sosial. Lahan-lahan pertanian yang semestinya menjadi lumbung kehidupan, kini banyak yang beralih fungsi menjadi permukiman atau industri. Padahal, kebutuhan akan makanan tak bisa ditawar; ia adalah fondasi utama keberlangsungan hidup sebuah bangsa. Tanpa pangan yang cukup, kekacauan adalah keniscayaan.

Lebih jauh lagi, ada kekhawatiran besar tentang masa depan pertanian kita. Generasi muda, khususnya Generasi Z, seolah enggan melirik dunia pertanian. Bayangan lumpur, terik matahari, dan kerja keras di sawah seringkali dianggap tak menarik, bahkan kuno. Mereka yang tumbuh di era digital, akrab dengan gawai dan dunia maya, rasanya sangat langka yang mau terjun langsung ke sawah, menginjakkan kaki di lumpur demi menanam padi.

Al-Zaytun: Mematahkan Stereotip, Menumbuhkan Harapan

Namun, gambaran suram itu tak berlaku di Al-Zaytun. Di tengah kompleksnya tantangan pertanian nasional, Pondok Pesantren Al-Zaytun hadir dengan sebuah narasi yang berbeda, sebuah kisah inspiratif yang mematahkan segala stereotip. Di sana, para pelajar Aliyah yang tergabung dalam ekstrakurikuler pertanian, justru menunjukkan semangat luar biasa. Mereka tak gentar dengan lumpur, tak takut kepanasan. Dengan tekun, mereka menjalani berbagai penelitian dan praktikum, menyelami dunia pertanian dengan penuh dedikasi.

Saat ini, mereka tengah berfokus pada budidaya varietas padi Jepang, Koshihikari. Bukan sembarang padi, Koshihikari adalah beras premium dengan nilai ekonomi tinggi. Para pelajar ini bekerja secara berkelompok, melakukan praktikum sekaligus penelitian, dan yang terpenting, menciptakan berbagai inovasi. Inovasi terkini yang sedang mereka kembangkan adalah sistem ratoon – sebuah metode revolusioner yang memungkinkan padi dipanen berkali-kali dari sekali tanam.

Proyek ini telah memasuki tahap ratoon pertama dan hampir mendekati masa panen. Dengan ketelitian luar biasa, para pelajar ini mencatat setiap perkembangan padi. Data demi data dikumpulkan, mulai dari awal ratoon hingga panen, semuanya tercatat rapi. Dokumentasi ini bukan sekadar catatan biasa; ia adalah dokumen berharga yang akan menjadi jurnal penelitian ilmiah, rujukan penting bagi para petani di seluruh Indonesia untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi lahan.

Generasi Strawberry di Sawah Berlumpur: Realitas Al-Zaytun

Istilah “Generasi Strawberry” sering disematkan pada Generasi Z. Analogi buah stroberi yang terlihat indah dari luar namun dianggap rapuh, mudah memar, dan kurang tahan banting terhadap tekanan, kerap dilekatkan pada mereka. Generasi ini dikenal kreatif, inovatif, melek teknologi, serta memiliki kesadaran sosial dan empati yang tinggi. Namun, di sisi lain, mereka juga sering dianggap mudah menyerah, sensitif terhadap kritik, dan memiliki ekspektasi yang terkadang tidak realistis.

Realitas di Al-Zaytun justru menunjukkan hal yang kontras. Para “Generasi Strawberry” ini, yang seharusnya menghindari kesulitan dan tekanan, justru memilih untuk bergelut dengan tanah, lumpur, dan terik matahari. Mereka membuktikan bahwa di balik label “rapuh” itu, tersimpan potensi besar untuk ketekunan dan ketangguhan. Mereka tidak hanya mahir dengan gawai, tetapi juga cakap mengolah lahan.

Sebenarnya, mereka hanya butuh bimbingan. Tidak bisa menyerahkan 100% pada kemauan mereka sendiri, namun ketika diajak untuk memikirkan bangsanya, untuk menghidupi lebih dari 270 juta warga negara Indonesia, mereka mengerti dan memahami betapa mulianya profesi pertanian ini. Dengan bantuan teknologi, pertanian menjadi sesuatu yang menyenangkan dan memberi harapan baru. Di tengah antrean ratusan ribu para pencari kerja, pertanian sesungguhnya adalah kekuatan ekonomi raksasa yang belum tergarap maksimal.

Maka tidak heran, miliarder dunia seperti Bill Gates dan Jack Ma (dari perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft dan Alibaba) mulai melirik dan berinvestasi besar di dunia pertanian. Mereka melihatnya sebagai masa depan dunia. Siapa yang menguasai pangan, maka ia akan menguasai dunia. Dunia ada dalam genggamannya, karena tak satu pun makhluk hidup di dunia ini yang tidak butuh makan.

Apa yang dilakukan Al-Zaytun bukan hanya sekadar pendidikan, melainkan sebuah gerakan. Gerakan untuk menumbuhkan kembali kecintaan pada tanah air, pada profesi mulia yang menghidupi bangsa. Ini adalah bukti nyata bahwa dengan bimbingan yang tepat, semangat inovasi, dan sentuhan teknologi, Generasi Z mampu menjadi garda terdepan dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Bravo Petani! Bravo Generasi Z Al-Zaytun!

banner 1600x1200