MDINEWS| KABUPATEN BEKASI. Menyusuri bentaran kali mati di Serangbaru mengungkap kisah tentang perjuangan seorang “Ibu Engkar” – julukan untuk sosok ibu tunggal yang ditinggal mati suaminya, kini harus berjuang menghidupi anak berusia 18 tahun yang tidak sekolah karena keterbatasan sehari-hari bu Engkar: Monolog Kesedihan dan Perjuangan Seorang Ibu Tunggal di Serang Baru kabupaten bekasi
Serang, Baru Julukan “Ibu Engkar” tak lagi terdengar sebagai ungkapan melainkan menjadi simbol perjuangan seorang ibu yang kehilangan suami tercinta dan kini harus menanggung seluruh beban hidup sendirian.
Sejak lima tahun lalu suaminya meninggal dunia, ia harus bertahan hidup dengan bekerja serabutan demi menghidupi sang anak, yang kini berusia 18 tahun. Namun, keterbatasan ekonomi membuat anaknya tidak bisa melanjutkan pendidikan. Dengan gaji harian yang tak menentu, barang sepele seperti makanan sehari sudah menjadi kebutuhan berat untuk dipenuhi.
Perjuangan sebagai ibu tunggal bukanlah hal mudah. Banyak tokoh ibu tunggal Indonesia, seperti Shinta Rini, menceritakan efek psikologis yang datang setelah ditinggal suami. Ia mengungkapkan, “selama 5 tahun menjalani kehidupan sebagai single mom saya mengalami jatuh bangun dalam menjalaninya…” dan mengakui bahwa mengalami kesepian, insomnia, bahkan tekanan dari keluarga untuk tampil sempurna adalah bagian dari realitasnya .
Dalam konteks ini, “Ibu Engkar” menghadapi beban serupa: kehilangan figur suami, tanggung jawab tunggal sebagai orang tua, dan tekanan untuk tetap menjalankan kehidupan dan memenuhi kebutuhan dasar anaknya, meskipun perekonomian sangat terbatas.
Tak hanya memikul kerinduan atas sosok suami, Ibu Engkar kini bergelut dengan persoalan utama: mencukupi kebutuhan dasar harian. Konsekuensinya, anaknya yang kini 18 tahun—idealnya masih bisa melanjutkan sekolah—justru memilih tidak bersekolah sama sekali karena harus membantu mencari nafkah dengan bekerja harian ***