width=
width=
HUKUM  

Ramai Pro-Kontra Perubahan UU TNI yang Dikaitkan Dengan Dwi Fungsi TNI, Begini Kata Dirjen PDK

MDINEWS, Jakarta – Dalam beberapa waktu terakhir, banyak pihak yang mengemukakan pendapat pro dan kontra mengenai perubahan Undang-Undang TNI yang berkaitan dengan Dwi Fungsi TNI. Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan (Dirjen PDK) Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM), Munafrizal Manan, memberikan penjelasan pada Kamis, 20 Maret 2025.

Dalam pernyataan tertulisnya, Munafrizal menegaskan bahwa konteks sejarah dan politik pada masa berlakunya Dwi Fungsi ABRI di masa lalu sangat berbeda dibandingkan dengan kondisi saat ini. Saat ini, tidak ada prasyarat politik yang memungkinkan munculnya kembali Dwi Fungsi tentara seperti di masa lalu.

“Dwi Fungsi ABRI pada masa lalu lahir dari kekuatan politik yang dominan, sentralistik, monolitik, dan hegemonik. Namun, saat ini prasyarat politik tersebut tidak ada lagi, karena kekuatan politik telah terdistribusi ke berbagai ranah, termasuk adanya sistem multipartai, kontestasi politik yang lebih terbuka, amandemen UUD 1945, serta keberadaan MA dan MK sebagai lembaga peradilan yang independen, bersama dengan media massa yang bebas dan masyarakat sipil yang kritis,” jelasnya.

Munafrizal juga menekankan bahwa Dwi Fungsi ABRI di masa lalu tidak hanya berlandaskan pada undang-undang yang bersifat militer, tetapi juga pada undang-undang yang berdimensi politik. “Peran sosial politik ABRI pada era Orde Baru ditegaskan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk mengangkat Anggota DPR dari unsur ABRI tanpa perlu melalui Pemilu,” tambahnya.

Lebih jauh, ia menyatakan bahwa Dwi Fungsi tentara tidak cukup untuk hanya diatur dalam UU TNI, karena RUU TNI tidak mencakup posisi untuk fungsi sosial politik tentara. Ini berbeda dengan UU Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara Republik Indonesia yang secara tegas mengatur bahwa Angkatan Bersenjata memiliki fungsi sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan negara serta kekuatan sosial (politik).

“Kekhawatiran bahwa perubahan UU TNI berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM oleh TNI rasanya terlalu dipaksakan. Sejak pemisahan domain antara TNI dan Polri pada awal Era Reformasi, urusan keamanan kini bukan lagi menjadi domain TNI, tetapi telah menjadi domain Polri,” tuturnya.

“Inisiatif tindakan represif TNI terhadap masyarakat sipil kini jauh lebih terbatas dibandingkan sebelumnya, karena TNI hanya dibatasi pada domain pertahanan. Keterlibatan TNI dalam keamanan hanya dapat dilakukan atas permintaan Polri dan di bawah kendali operasi Polri,” lanjutnya.

Dia juga menekankan bahwa tidak ada hubungan antara penambahan jabatan untuk personel TNI, sebagaimana diatur dalam perubahan UU TNI, dan potensi pelanggaran HAM. Jabatan yang dapat diisi oleh TNI tidak berkaitan langsung dengan otoritas untuk memerintahkan tindakan represif. Oleh karena itu, mengaitkan perubahan ini dengan pelanggaran HAM adalah hal yang terlalu berlebihan.

“Perbedaan pendapat terkait perubahan UU TNI adalah hal yang wajar dan dijamin oleh Konstitusi, namun akan menjadi berlebihan jika ada pihak yang menganggap pendapatnya paling benar dan memaksakan pandangannya. Pihak yang tidak setuju dengan perubahan UU TNI dapat mengujinya di Mahkamah Konstitusi,” pungkasnya.***

banner 1600x1200