width=
width=
HUKUM  

Tuntutan 7 Tahun Dinilai Tak Manusiawi, Kuasa Hukum Desak Rehabilitasi untuk Taqiyuddin

MDI.News | Jakarta — Sidang kasus narkotika yang menjerat Taqiyuddin Hilali memasuki babak krusial. Dalam sidang pembacaan pleidoi yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (14/5/2025), tim kuasa hukum terdakwa mengecam keras tuntutan tujuh tahun penjara dan denda Rp800 juta subsider tiga bulan kurungan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

 

Irfan Akhyar, S.H., M.H., penasihat hukum Taqiyuddin dari kantor hukum Akhyar Hendri & Partner Law Office, menyebut tuntutan tersebut sangat tidak adil dan mencederai rasa kemanusiaan serta prinsip hukum yang proporsional. Menurutnya, kliennya tidak layak diperlakukan sebagai pelaku kejahatan berat karena fakta hukum menunjukkan bahwa Taqiyuddin hanyalah seorang pengguna ganja, bukan pengedar ataupun bagian dari jaringan narkotika.

 

“Taqiyuddin hanyalah korban dari penyalahgunaan narkoba. Dia bukan bandar, bukan perantara. Fakta ini terang benderang berdasarkan keterangan saksi dan hasil assessment dari BNN Provinsi DKI Jakarta,” ujar Irfan kepada media saat ditemui di kantornya, Jumat (16/5/2025).

 

Irfan menegaskan bahwa pendekatan hukum dalam kasus seperti ini seharusnya bersifat rehabilitatif, bukan represif. Ia mengutip prinsip ultimatum re medium, yaitu bahwa pemidanaan seharusnya menjadi jalan terakhir dalam sistem hukum, bukan pilihan utama.

 

“Kami tidak menyangkal bahwa narkoba adalah persoalan serius yang harus diberantas. Tapi keadilan juga menuntut kebijaksanaan. Tidak semua pengguna harus dihukum dengan kurungan. Hukum harus bisa membedakan mana pengguna, mana pengedar,” tegas Irfan.

 

Lebih lanjut, Irfan mengungkap bahwa dalam proses hukum yang dijalani kliennya, terdapat sejumlah kejanggalan serius. Salah satunya adalah tidak dimasukkannya hasil assessment BNN sebagai alat bukti resmi dalam persidangan, padahal dokumen tersebut sangat penting untuk menentukan perlakuan hukum terhadap terdakwa sebagai korban penyalahgunaan narkoba.

 

“Fakta yang lebih ironis adalah, klien kami ditangkap berdasarkan bukti transfer kepada seseorang bernama Galih Ardani. Tapi Galih justru tidak pernah diproses hukum, bahkan tidak pernah dihadirkan di persidangan. Sementara Taqiyuddin ditahan dan dituntut tujuh tahun. Ini jelas janggal,” kata Irfan dengan nada heran.

 

Barang bukti yang disita dari Taqiyuddin pun disebut sangat minim—hanya berupa batang ganja kering dengan berat 13 gram netto. Bukan ganja siap pakai, dan tidak ditemukan alat konsumsi narkotika lainnya. Hasil tes urine memang menunjukkan adanya jejak penggunaan, namun menurut Irfan, penggunaan tersebut terjadi karena Taqiyuddin mengalami insomnia berat sejak 2023 dan telah berhenti memakai sejak tahun yang sama.

 

“Klien kami tidak lagi aktif menggunakan. Tapi karena ada bukti transfer dari Februari 2025, ia langsung ditahan. Padahal bukti itu pun tidak dihadirkan secara utuh di persidangan. Ini membuat proses hukum yang dijalani klien kami menjadi sangat berat sebelah,” jelas Irfan.

 

Saat ini, Taqiyuddin masih ditahan dan menanti pembacaan putusan yang dijadwalkan berlangsung pada Senin, 26 Mei 2025. Pihak kuasa hukum berharap majelis hakim dapat mengambil keputusan yang adil, mempertimbangkan aspek kemanusiaan, dan berpihak pada pendekatan hukum yang lebih progresif dan berkeadilan.

 

“Kami berharap majelis hakim tidak semata-mata melihat ini dari sudut pidana. Taqiyuddin adalah korban. Ia butuh rehabilitasi, bukan hukuman penjara yang berlarut-larut. Jika pengguna saja dihukum berat sementara pengedar dibiarkan bebas, lalu ke mana arah keadilan kita?” tutup Irfan.(Red)

Editor: Dudung
banner 1600x1200